Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran Matematika SD
Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran Matematika SD
Pendidikan
pada dasarnya adalah suatu proses membantu manusia dalam mengembangkan dirinya
sehingga mampu menghadapi segala perubahan dan permasalan dengan sikap terbuka
dan kreatif tanpa kehilangan identitas dirinya. Seperti yang tercantum
dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh karena itu setiap bagian dari proses
belajar mengajar yang dirancang dan diselenggarakan harus mempunyai sumbangan
nyata untuk mencapai tujuan tadi.
Sejalan
dengan pikiran di atas, maka guru matematika hendaknya menguasai materi,
pendekatan dan metode pembelajaran matematika yang sesuai. Sehingga tugas guru
matematika tidak hanya sekedar diperolehnya berbagai pengetahuan dan
keterampilan matematika oleh siswa akan tetapi juga mendorong berkembangnya
pemahaman dan penghayatan terhadap prinsip, nilai dan proses matematika, dan
menumbuhka daya nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, terbuka dan rasa
ingin tahu siswa.
Pembelajaran
matematika di SD mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mewujudkan
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pengajaran matematika adalah
untuk: (1) menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan
bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari, (2) menumbuhkan kemampuan
siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika, (3) mengembangkan
pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di SLTP, (4)
membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin (depdikbud, 1994).
Dengan demikian tujuan pendidikan matematika tersebut tidak hanya dimaksudkan
agar siswa terampil melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian, tetapi juga mengusahakan agar siswa mampu menggunakan keterampilan
tersebut untuk menyelesaikan masalah (problem solving).
Menurut
Cockcroft (1982) sebagaimana dikutip Fajar, pengajaran matematika harus
melibatkan aktivitas-aktivitas:
- Eksposisi atau pemaparan guru (exposition)
- Diskusi di antara siswa sendiri ataupun antara siswa dengan guru (discussion)
- Kerja Praktek (practical work)
- Pemantapan dan latihan penerjaan soal (consolidation)
- Pemecahan masalah (problem solving)
- Penyelidikan (investigation)
Dari
beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di
sekolah, disatu sisi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kecerdasan
peserta didik. Namun, di sisi lain terdapat pakar yang menilai bahwa
pembelajaran matematika disekolah hanyalah merupakan kebutuhan yang bersifat
pelengkap dari apa yang telah dikembangkan oleh para ilmuan dalam matematika.
Sehingga orientasi pengajaran matematika cenderung sangat prosedural, secara
gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika)
mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus matematika itu sendiri.
Sejalan
dengan munculnya teori belajar konstruktivisme, dirasakan dapat memperbaiki
kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang sederhana dan mekanistik
menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Proses pembelajaran matematika yang harus dikembangkan guru dalam kurikulum
pendidikan saat ini lebih menekankan pada upaya mengembangkan potensi dan
kreativitas siswa secara optimal. Sebagaimana yang dirumuskan oleh National Council of Teacher of Mathematics
(NCTM) pada tahun 2000, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui
pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan
yang dimilikinya.
Fajar Shadiq, seorang widyaiswara PPPPTK Matematika merinci implikasi konstruktivisme pada pembelajaran matematika di SD, yaitu sebagai berikut:
- Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang bagus pada siswanya. Setiap siswa SD harus mengkonstruksi pengetahuan matematika dalam benaknya masing-masing berdasar pengetahuan matematika dalam benaknya. Karena itu, hanya dengan usaha keras siswa sendirilah siswa benar-benar memahami matematika. Setiap guru matematika SD tentunya sudah mengalami bahwa meskipun suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswanya yang belum atau tidak mengerti materi yang diajarkan. Hal ini telah menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali.
- Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan matematika dibangun atau dikonstruksi oleh siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh guru. Siswa harus dapat secara aktif mengasimilasi dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya. Karena itu, pembelajaran matematika akan menjadi menjadi lebih efektif bila guru membantu siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
- Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu. Karena itu guru harus mau bertanya dan mengamati pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan siswa harus menjadi umpan balik dalam proses penyempurnaan rancangan proses pembelajaran berikutnya.
- Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-masing konsep matematika sehingga peran guru dalam mengajar bukan “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan matematika pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan siswa membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak
yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik, (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara
belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator,
fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada peserta didik.
Peran guru
yang semula mendominasi kelas kini harus lebih banyak memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengambil peran lebih aktif. Proses pembelajaran pun
dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan. Proses pembelajaran yang
menyenangkan ini menyebabkan proses pembelajaran lebih efektif. Potensi siswa
dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik, apabila pihak sekolah khususnya
guru turut menunjang dan memfasilitasi mereka atau dengan kata lain guru
melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar.
Keterlibatan
siswa hanya bisa dimungkinkan jika siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi
atau terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sebelumnya
siswa diharuskan tunduk dan patuh pada peraturan dan prosedur yang kaku yang
justru membatasi keterampilan berpikir kreatif. Dalam belajar siswa banyak
diminta menghafal daripada mengeksplorasi, bertanya atau bereksperimen
Comments
Post a Comment